Rumah Rumput Laut
Biaya operasional di cuilan hilir budidaya rumput bahari dapat dipangkas.
Kantong berkarbon akan segera menggeser aplikasi metode penanaman dan penanganan pasca panen rumput bahari yang dikembangkan semenjak tahun 70-an sampai kini. Teknologi gres ini akan melindungi rumput bahari dari serangan predator dan menjaga tumbuhan supaya tetap bersih.
Sorot mata Agus Cahyadi tertuju ke wanita baya yang duduk di
pinggir pantai. Pria berkacamata itu ingin tau dengan apa yang sedang dilakukan si ibu sehingga tidak bergeming dari tempat duduknya. Dengan langkah ringan, ia menghampiri wanita berkulit sawo matang yang duduk di depan seonggok rumput bahari segar.
Dari akrab ia dapat menyaksikan secara terperinci bagaimana ketelatenan jemari si ibu menyortasi kotoran (sampah) yang menempel di rumput laut. Lalu, Agus bertanya, "Apa yang menjadi hambatan menyortasi rumput bahari sehingga harus bela-ma-lama duduk di sini?"
Perempuan yang rambutnya mulai dipenuhi uban itu memaparkan perihal kesulitannya mengurai benang pancing yang tersangkut di tali pengikat rumput laut. Pasalnya, diharapkan kehati-hatian ekstra supaya batang rumput bahari yang rapuh itu tidak banyak terputus (fragmentanon). Perempuan itu juga mengeluhkan terkadang feses yang terbawa bersamaan dengan sampah menempel pada rumput laut. Adapun penanganan pasca panen rumput bahari im butuh waktu usang sebab jumlahnya memang sangat banyak.
Maklum, nenek itu bekerja di sebuah pusat pengembangan budidaya rumput bahari di kepulauan Wakatobi. Sulawesi Tenggara. Menurut Agus yang notabene peneliti dari Pusat Pengkajian dan Perekayasaan Teknologi Kelautan dan Perikanan, kepulauan Wakatobi merupakan penghasil rumput bahari yang menyumbangkan rumput bahari secara nasional. Dengan luas lautnya yang mencapai 1,4 juta hektar, 40 persen merupakan habitat rumput laut. 1 Liliit.ii itu terpusat di Kecamatan Wangi-wangi, Kaledupa, dan Tomia.
Sayangnya, potensi rumput bahari yang begitu besar di Wakatobi itu sampai ketika ini masih menerapkan pendekatan teknologi penanaman danpascapanenera70-an.Teknolo-gi penanaman masih memakai metode mengikatkan bibit rumput bahari pada tali-tali dengan botol-botol bekas sebagai pelampungnya dan dipatok secara berjajar-jajar di tempat perairan bahari di kedalaman antara 30-60 sentimeter.
Penerapan teknologi tersebut butuh perawatan secara teratur. Sebagai tumpuan pengawasan secara kontinu untuk mengontrol posisi rumput bahari yang ditebar sesudah ombak bahari ke arah pantai meng-gesernya. Biasanya faktor angin juga menghipnotis posisi bibit mengumpul di areal tertentu sehingga perlu dipisahkan dan ditebar merata lagi.
Belum lagi permasalahan kotoran atau sampah yang acap kali menempel di rumput laut. Kotoran ini akan mengganggu pertumbuhan tanaman. Cara mengatasinya dengan menggoyang-goyang tumbuhan supaya selalu higienis dari kotoran. Selain kotoran, organisme yang menumpang hidup dan tumbuh pada inangnya ibarat gulma, lumut, atau rumput bahari lainnya harus disingkirkan supaya tidak menurunkan produktivitas kualitas hasil.
Ada pula organisme yang mengganggu, merusak, bahkan memangsa rumput bahari berupa ikan baronang, penyu, dan bulu babi. Hewan herbivora itu harus dicegah masuk ke tempat budidaya. Caranya memasang jaring di sekeliling tempat budidaya.
"Penerapan teknologi konvensional di cuilan hilir budidaya rumput bahari itu membutuhkan biaya operasional cukup besar. Sebab, petani pembudidaya harus bolak-balik dari daratan ke perairan dengan memakai bahtera berbahan bakar bensin," ujar Agus yang mulai melaksanakan riset pengembangan teknologi materi budidaya rumput bahari semenjak 2009.
Pelbagai permasalahan perawatan tesebut juga mengakibatkan kuota panen rumput bahari dapat berubah-mbah, kadang stabil atau bahkan anjlok. Pun pendekatan teknologi pasca panen konvensional me-nyebabkan biaya produksi cukup mahal, sebab harus memperkerjakan orang untuk menyortasi dan membersihkan rumput bahari dengan memakai air tawar.
Solusi
Berangkat dari permasalahan tersebut, Agus putar otak untuk mencari solusi memakas biaya operasional di cuilan hilir budidaya rumput laut. Tercetus metode yang lazim dipakai para petani buah melindungi mangga atau sejenisnya dari serangan lalat dengan cara membungkusnya. "Metode yang biasa diterapkan di darat itu kenapa tidak dicoba di perairan," cetus Agus yang tiga tahun kemudian belum sepenuhnya yakin gagasannya akan berhasil.
Untuk itu, ia memakai biaya pribadi untuk melaksanakan riset pembuatan kantong pelindung rumput laut. Awalnya ia menciptakan kantong pelindung dari jaring ber-lapis satu berbentuk silinder supaya kotoran tidak dapat masuk. Jaring tersebut dilapisi dengan karbon aktif dan materi organik layaknya sebagai .11 ii iti 11iiin supaya organisme ibarat gulma, lumut, atau rumput bahari lainnya tidak menumpang hidup di dalam silinder. Karbon aktif tersebut dilekatkan dengan memakai getah suatu tumbuhan melalui proses destilasi.
Selanjutnya, proses uji coba dilakukan dengan menciptakan beberapa kantong pelindung yang telah dilapisi karbon untuk melindungi rumput bahari jenis kotoni dari gangguan hama, epifit, dan kotoran di tempat budidaya rumput laut. Kantong itu diikat pada tali-tali yang dipatok secara berjajar-jajar di tempat perairan bahari dan diapungkan memakai botol.
"Apa pun hasil rumput bahari yang telah dilindungi kantong berlapis karbon, saya harus membeli kepada petani yang mempunyai tempatbudidaya," kata Agus dengan perasaan harap-harap cemas menanti panen rumput kurang lebih 25 hari lamanya.
Tak dinyana, riset awal yang menelan biaya sekitar dua juta rupiah itu membuahkan hasil cukup memuaskan. Rumput bahari dapat tumbuh secara normal di dalam kantong berkarbon iikiI.ii dari awal pemasangan tunas sampai pemanenan. Lebih dari itu, hasil rumput bahari di dalam kantong ketika dipanen sudah bersih. Hanya saja, sebab jaring berlapis satu muka maka ada sebagian yang rusak, mungkin sebab serangan binatang herbivora.
Untuk menutup kelemahan tersebut maka dalam riset lanjutan didesain kantong rumput bahari dengan jaring berlapis dua muka, taring lapis pertama berfungsi melindungi rumput bahari dari gangguan binatang predator dan sampah laut, dan jaring lapis kedua yang me-ngandung karbon aktif berperan mencegah gangguan organisme parasit.
Kantong rumput bahari berkarbon ini mempunyai tinggi 40 sentimeter dan berdiameter 30 sentimeter. Spesifikasi tersebut dapat dipakai untuk menanam bibit minimal 200 gram. Adapun asumsi isi kantong berkarbon pada masa panen sekitar kurang lebih tiga kilogram. "Dengan demikian kuota hasil panen rumput bahari dapat diperkirakan," kata Agus. Imbuh Agus, produk perdana Kantong Rumput Laut berkarbon ini juga akan dipamerkan di festival Teknologi Tepat Guna pada bulan Oktober di Kota Kendari Sulawesi Tenggara.
Lebih penting dari itu, biaya operasional di cuilan hilir budidaya rumput bahari dapat dipangkas. Pasalnya, sesudah proses penanaman sampai panen tidak perlu perawatan yang berarti. Penanganan pasca panen ibarat penyortiran dan pencucian dapat diminimalisir sebab hasil rumput bahari di dalam kantong berkarbon sudah bersih.ladi hasil panen rumput bahari dapat pribadi dijemur dan diproses lebih lanjut sebagai materi baku (tepung) untuk industri pangan, kosmetik, tekstil, dan lainnya. Pangsa pasar rumput bahari di manca negera pun dari tahun ke tahun semakin cerah. Negara di dunia yang siap menampung produk rumput bahari mentah atau setengah jadi (tepung) di antaranya Hongkong, Korea Selatan, Prancis, Inggris, Kanada, Amerika Serikat, dan lepang.
Dengan demikian Indonesia dapat mengakibatkan rumput bahari sebagai komoditas andalan penghasil devisa negara. Hal itu bukan lagi kasus tidak mungkin kalau melihat hasil penelitian kantong rumput bahari berkarbon di Wakatobi sangat memuaskan. Tunas rumput bahari dapat leluasa tumbuh sehingga produktivitas meningkat. agung wredho
Sumber: KoranJakarta,13September2011,Hal 5