Pantai merupakan ekosistem yang terletak antar garis air surut terendah dengan air pasang tertinggi. Ekosistem ini berkisar dari kawasan rendah yang substratnya berbatu dan berkerikil (yang mengandung tumbuhan dan fauna dalam jumlah terbatas) hingga kawasan berpasir aktif (dimana populasi bakteri, protozoa, dan metozoa ditemukan) serta kawasan yang bersubstrat liat dan lumpur (dimana ditemukan sejumlah besar komunitas hewan yang jarang muncul ke permukaan).
Banyak diantara pantai-pantai di Indonesia yang mengalami abrasi, mulai dari yang tingkat abrasinya rendah, sedang, hingga yang tingkat abrasinya parah/tinggi. Dalam upaya mengatasi erosi ini sudah saatnya bagi kita untuk memikirkan cara-cara dan melaksanakan tindakan yang berwawasan konservasi, tidak lagi hanya dengan melaksanakan upaya yang sifatnya sementara saja. Pencegahan ataupun penanggulangan erosi dengan berwawasan konservasi ini tentunya akan memperlihatkan banyak sekali laba bagi lingkungan (alam) yang akan membawa banyak imbas konkret dalam kehidupan manusia. Salah satu cara mencegah ataupun mengatasi erosi ialah dengan cara penanaman bakau. Sebenarnya telah banyak orang yang mengetahui fungsi dan kegunaan hutan bakau bagi lingkungan. Namun dalam prakteknya di lapangan, masih banyak pula yang belum memanfaatkan hutan bakau sebagai sarana untuk mencegah atau mengatasi abrasi.
Yang sering terlihat, dalam perjuangan mengatasi erosi di kawasan pantai, pemerintah di beberapa kawasan melaksanakan kebijakan pencegahan erosi dengan membangun pemecah gelombang buatan di sekitar pantai dengan maksud untuk mengurangi erosi yang terjadi tanpa dibarengi dengan perjuangan konservasi ekosistem pantai (seperti penanaman bakau dan/atau konservasi terumbu karang). Akibatnya dalam beberapa tahun lalu erosi kembali terjadi sebab pemecah gelombang buatan tersebut tidak bisa terus-menerus menahan terjangan gelombang laut. Namun payahnya, seringkali pengalaman tersebut tidak dijadikan pelajaran dalam tetapkan kebijakan selanjutnya dalam upaya mencegah ataupun mengatasi abrasi. Yang sering terjadi di lapangan, ketika pemecah gelombang telah rusak, lagi-lagi pemerintah setempat membangun pemecah geombang buatan dan lagi-lagi tanpa dibarengi dengan penanaman bakau atau konservasi terumbu karang yang rusak. Hal tersebut seolah-olah menjadi suatu rutinitas yang bila difikir lebih jauh, tetunya hal tersebut akan berimbas terhadap dana yang harus dikeluarkan kawasan setempat.
Seandainya, dalam mengatasi erosi tersebut kebijakan yang diambil pemerintah ialah dengan membangun pemecah gelombang buatan (pada awal perjuangan mengatasi erosi atau kalau kondisi erosi benar-benar parah dan dibutuhkan tindakan super cepat) dengan dibarengi penanaman bakau di sekitar kawasan yang terkena erosi atau bahkan bila memungkinkan dibarengi pula dengan konservasi terumbu karang, tentunya pemerintah setempat tidak perlu secara bersiklus terus menerus membangun pemecah gelombang yang menghabiskan dana yang tidak sedikit. Hal ini dikarenakan dalam beberapa tahun semenjak penanaman, tanaman-tanaman bakau tersebut sudah cukup untuk mengatasi atau mengurangi erosi yang terjadi.
